Persenjataan FPU Indonesia: SS2-V5

persiapan patroli

Formed Police Unit (FPU) Indonesia di Darfur Sudan sudah pada kontingen yang ke 5, sudah banyak yang dilakukan dalam upaya mencapai perdamaian di missi gabungan antara PBB dan Uni Afrika yang disebut United Nations African Union Mission in Darfur (UNAMID), ada yang istimewa dalam kontingen ke 5 ini dengan diperkenalkannya senjata personal yang baru yaitu SS2-V5 buatan Pindad. Sekarang kita mendapat persenjataan produksi anak bangsa yang ternyata tidak kalah dengan buatan impor lainnya, atau setidaknya persenjataan FPU yang terdahulu yaitu STYER.Proses pergantian ini berjalan seiring dengan rotasi pasukan FPU 5 yang membawa senjata baru dan FPU 4 pulang membawa senjata yang lama, hal ini tidak menjadi masalah karena yang membawa pasukan ini satu pesawat carter.

Pindad_SS2

Secara umum gambaran Senjata Serbu (SS) seri SS2-V5 ini adalah:

Water point IDP Abu SoukSS2-V5 dibuat pertama kali 2006 silam yang dikembangkan oleh pabrik senjata kebanggaan Indonesia PT Pindad mulai dari tipe SS2-V1, SS2-V2 dan SS2-V4, yang membedakan SS2-V5 dengan produk sebelumnya adalah panjang larasnya, dan SS2-V5 ini paling pendek diantara tipe lainnya, sebagai gambaran SS2-V5 paling pendek larasnya sedangkan yang paling panjang SS2-V4.
SS2-V5 didisain oleh PT Pindad untuk memenuhi kebutuhan senjata perang kota. Ukurannya lebih pendek, lebih ringan, nyaman dipakai, tahan terhadap kelembaban tinggi dan lebih akurat setelah mengoreksi sustain rate of fire.
SS2-V5 memiliki panjang laras 252mm. Bandingkan dengan SS2 V1 = 460mm, SS2 V2 = 403mm dan SS2 V4- 460mm. Dengan laras yang lebih pendek tersebut, membuat SS2 V5 juga memiliki panjang senapan paling pendek diantara seluruh varian SS2 yang rata rata memiliki panjang 920- 990mm. Sementara SS2 V5 hanya 770mm.
SS2-V5 memiliki popor senjata extended dan bisa dilipat, penambahan picatinny rail yang memudahkan telescope keluar-masuk, telescope lebih akurat dan front handle yang memudahkan pengoperasian senjata.
SS2-V5 memiliki tiga model fire mode: otomatis, single shot dan machine. Pindad mengaku telah mengujinya diberbagai medan sesuai standar TNI baik air sungai, rawa dan laut dan kekuatan karet.
SS2-V5 buatan 2012 mempunyai berat 3,39 kilogram ini sudah digunakan pasukan Korps Pasukan Khusus (Kopassus) serta diekspor ke sejumlah negara Afrika dan sekarang digunakan oleh pasukan perdamaaian kebanggaan Polri FPU-5.

SS2-V5 PindadSekarang kita dengar comment dari Komandan Kontingen FPU 5, AKBP Reza Arief tentang senjata ini:
1. Dengan laras yang tidak terlalu panjang sehingga nyaman dibawa pada saat jalan kaki dan pada saat membawa kendaraan.
2. Akurasi tinggi pada saat penembakan, serupa dan senyaman pada saat menembakkan M16, akan lebih spesial lagi dengan menggunakan peluru 5TJ daripada menggunakan 4TJ buatan Pindah karena grain nya lebih besar.
3. Recoil nya (hentakan kebelakang akibat penembakan) sangat kecil dan halus dibandingkan pendahulunya SS1 varian pendahulunya bahkan lebih mulus dari M16 yang terkenal paling “halus”,  padahal secara teori semakin pendek laras akan semakin besar Recoilnya , terbukti dari beberapa senjata M16 yang dipendekkan  hasil recoilnya semakin besar.
4. Kekurangan yang dirasakan adalah di mekanik Trigger yang masih kurang stabil, kadang ringan tiba – tiba bisa agak keras mungkin ini disebabkan oleh material Spring yang kurang bagus. Walaupun demikian ketidak stabilan Trigger tidak terlalu mempengaruhi keakuratan bila digunakan untuk Combat Shooting maupun Tactical shooting mungkin sangat terasa apabila digunakan pada saat kompetisi.
5. Senjata ini mungkin dirancang menggunakan popor tetap bahkan sudah menggunakan adjustable butt produk magpul, tapi sayangnya masih menggunakan popor lipat yang dikunci untuk mencegah terlipat, permasalahannya penguncinya tidak permananen sehingga masih sering goyang, disarankan untuk dibuat paten sehingga lebih nyaman.
6. Kekurangan lainnya adalah Handcarry handle yang juga merupakan tempat dan pelindung pisir (rear sight) materialnya kurang kuat sehingga ada beberapa senjata yang bengkok karena jatuh tidak disengaja.
7. Kelebihan dari senjata ini adalah sudah mengadopsi rail System, Ato Piccatinny sehingga tidak perlu modifikasi tambahan jika hendak memasang accessories lainnya seperti Alat optik, Senter, Laser Pointer maupun Rail Cover, semuanya kompatibel dengan yang ada di pasaran produk apa saja asalkan mempunyai Rail System.

moon shop

Tugas FPU 5 akan berakhir hingga bulan Oktober 2013, kita doakan bersama agar dalam bertugas di UNAMID Darfur Sudan tidak menemui kendala yang berarti, dan pasukan sebanyak 140 orang ini bisa kembali dengan selamat.

Catatan Perjalanan Seorang Peacekeeper Dari Tengah Gurun Pasir Darfur.

“A life without adventure is likely to be unsatisfying, but a life in which adventure is allowed to take whatever form it will is sure to be short.”

Bertrand Russell quotes (English Logician and Philosopher 1872-1970)

Pada suatu sore pada saat hendak main bulutangkis, saya ditelepon oleh sesorang dari Mabes Polri, saya diberitahu bahwa saya ditunjuk langsung sebagai Wakil Komandan Kontingen Misi Perdamaian Polri di Darfur, seketika adrenalin saya meningkat, membayangkan Darfur suatu daerah yang setahu saya adalah daerah konflik yang paling berbahaya di dunia, banyak televisi berita dunia yang menceritakan tentang Konflik Darfur, ….Yes… this is my biggest Adventure ever !

Inilah negara Sudan dengan ibukota Khartom, dan perjalanan kami dari Port Sudan hingga Al Fashir Darfur region

Missi Perdamaian ini dinamakan United Nations African Nation Mission In Darfur (UNAMID) adalah suatu missi kerjasama antara Uni Afrika dan PBB dalam membawa kedamaian di Darfur Sudan. Permasalahannya adalah pemberontakan penduduk Darfur terhadap pemerintah pusat Sudan, masalahnya sangat klasik yaitu tidak meratanya pembagian pusat dan daerah, terutama semenjak ditemukan ladang minyak baru disini. Konflik yang telah berjalan 5 tahun ini mengakibatkan korban 350 ribu jiwa dan 2,5 juta orang tinggal di Internal Displaced Personal Camp (kamp pengungsi lokal).

Barang dari Indonesia pertama kali diturunkan di Port Of Sudan

Ada banyak hal baru yang saya dapatkan dalam missi saya ini, yang jelas sangat jauh berbeda dengan missi saya sebelumnya di Bosnia Hercegovina 97-98. Missi ini adalah pertama kalinya Polri mengirimkan kontingen dalam ikatan pasukan yang disebut Formed Police Unit (FPU) yaitu unit lengkap mandiri dan bersenjata terdiri dari 140 orang. Dengan daerah missi di gurun pasir juga merupakan tantangan tersendiri, karena tidak pernah ada seorangpun dari kami yang berpengalaman mengalami kondisi alam ini.

Fpu Indonesia pada saat istirahat Patroli di IDP camp

Saya ditunjuk sebagai “Team Advance” dengan dua orang rekan lainnya berangkat pada tanggal 5 Mei 2008 untuk mengurus dan mengawasi pengiriman ribuan item peralatan, camp portable, bahan makanan serta puluhan kendaraan milik FPU Indonesia (140 kontainer 20′ dan 53 buah kendaraan) yang dikirim dari Tanjung Priok Indonesia dan berlabuh di kota pelabuhan satu – satunya di Sudan, Port Of Sudan. Setelah sampai di Pelabuhan Port Of Sudan ternyata bukan akhir dari perjalanan kami, pengurusan Custom yang terkendala Birokrasi serta jarak tempuh yang sangat jauh hingga sampai di tempat penugasan kami Al Fasher Darfur, kalau diukur dari skala peta berjarak 2700 Km hampir dua setengah panjang pulau jawa, dengan jalan yang buruk melewati padang pasir yang luas. Pengiriman barang tersebut melewati pusat logistic UN di Sudan di kota Al Obeid, kalau diperhitungkan lama perjalanan dari Port Sudan hingga sampai di Al Fasher memakan waktu 5 bulan.

Foto bersama para perwira FPU Indonesia

Pada Bulan ke lima setelah barang sebagian besar tiba di Al Fashir, pasukan utama FPU tiba di El Fasher pada tanggal 12 Oktober 2008, menggunakan pesawat carter dari Halim Perdana Kusuma, hari – hari pertama setelah kedatangan pasukan FPU Indonesia pada tanggal adalah melakukan orientasi lapangan ke IDP Camp yang masuk dalam Area Of Responsibilitynya, yaitu IDP camp “El Salam”, “Abu Shouk” dan “Zam–Zam” rata – rata IDP Camp ini dihuni sekitar 100 ribu pengungsi, di dalam IDP camp tokoh masyarakat informal disebut “Sheik” (setingkat dengan desa/lingkungan) dan diatasnya adalah “Omda” yang biasanya membawahi beberapa Sheik.

Melakukan community Policing bertemu dengan Sheik di IDP camp

Kendala awal bagi pasukan dan seperti pernah saya alami sendiri adalah penyesuaian fisik untuk menghadapi iklim gurun yang ganas: bibir pecah, dehidrasi, mengeluarkan darah dari hidung adalah hal yang rata – rata dialami, namun kendala itu cepat dapat diatasi. Pada waktu kedatangan sementara kontingen FPU Indonesia ditempatkan pada “transit camp” karena camp Indonesia masih dalam tahap pembangunan, yang memakan waktu selama 2 bulan, bagi anggota FPU kebutuhan hidup sehari- hari seperti bahan makanan di drop secara regular dan dimasak oleh anggota “Support Unit”, air untuk MCK dan minum juga di drop tiap hari.

Peragaan FPU Indonesia pada upacara medal parade di Basecamp FPU Indonesia.

FPU Indonesia melaksanakan tugasnya secara “full performance” setelah melewati jangka waktu 2 minggu waktu penyesuaian dan orientasi, tugasnya adalah melakukan patroli di 3 (tiga) IDP Camp yang merupakan wilayah tanggung jawabnya, terbagi dalam shift siang dan malam, setiap patroli terdiri dari 1 peleton menggunakan 2 buah “Armored Personnel Carrier” (APC) dan mobil patroli. Patroli ini merupakan joint patrol bersama UN CIVPOL dengan melaksanakan “Community Policing”, “Pemolisian Masyarakat” , kami membantu masyarakat Darfur di dalam IDP camp agar bisa mempunyai daya tangkal terhadap gangguan kamtibmas di lingkungan sekitarnya. Tepat setahun masa tugas FPU kami disembarkasi dan digantikan oleh FPU Indonesia 2 sebagai FPU pengganti kami.

Pemberian tanda jasa PBB kepada 3 orang ‘team Advance’ oleh kepala polisi UNAMID, Jend. Michel Fryer dari Afsel.

Memang berat tugas yang harus kami lakukan, namun kalau ditarik ke belakang pengalaman ini sangat berharga buat saya dan rekan – rekan FPU lainnya, dan mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup saya……

Reinhard Hutagaol Sik

Akbp/Wakil Komandan Kontingen FPU Indonesia di Sudan/UNAMID

*Tulisan ini dimuat dalam majalah bulanan Polda Jambi Siginjai.

SULITNYA MENCARI AIR DI DARFUR

Hehehe, masih kebagian nih ..cerita dari rekan – rekan yang masih bertugas di Darfur …. kali ini masalah yang paling utama kalau berdinas di daerah Gurun seperti Darfur … Ya …mau ngga mau masalah air … dan memang persoalan air ini memang diakui salah satu penyebab konflik Darfur… bahkan telah ratusan tahun sebelum konflik separatisme ini terjadi…  konflik yang sekarang memang lebih “bernada” politis , tapi kalau mau ditarik benang merah….. konflik ini terjadi antara Ras Asli Afrika  “Darfurian” yang kebanyakan adalah “petani yang berladang“, melawan Ras Arab Nomaden yang sehari hari adalah “pengembala”… konflik selalu terjadi , terutama pada saat kering yang berkepanjangan .. Yang jelas “Darfurian” mememerlukan air untuk ladangnya dan mereka berebut dengan Suku Arab Nomaden yang juga membutuhkan air untuk Ternak peliharannya … beginilah cerita ini berlangsung ratusan tahun lamanya…..

Team Water didepan truck watertank kebanggaan, terdiri dari driver , pengawal dan petugas water treatment
"Team Water" didepan truck watertank kebanggaan, terdiri dari driver , pengawal dan petugas water treatment

Nah sentimen inilah yang terjadi sampai sekarang, Penduduk Asli “Darfurian” melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat Sudan, karena keberadaan mereka kurang diperhatikan … Dan patut diakui Pemerintah pusat Sudan mengalami kesulitan menghadapi pemberontakan ini… karena Pemerintah pusat  yang mempunyai kedekatan dengan “ras Arab”  mereka menggunakan tangan Suku Arab Nomaden yang lebih dikenal dengan nama “Janjaweed” untuk memerangi pemberontakan tersebut …..  dan dilanjutkanlah konflik yang memang sudah terjadi selama ratusan tahun itu…

Berada di water Point beserta tentara pemerintah Sudan dengan pengawalan ketat ... baru tau kan betapa berbahaya nya water bussiness ini ???
Berada di "water Point" beserta tentara pemerintah Sudan dengan pengawalan ketat ... baru tau kan betapa berbahaya nya water bussiness ini ???

Kembali ke cerita air ….. Pada awalnya FPU Indonesia mengambil air di “water point” yang dekat dari camp FPU.. masih terletak di kota dengan jarak sekitar 3 Km dari Camp…Namun seiring dengan makin sulitnya air … dan juga sumber air tersebut menjadi tempat mengambil air seluruh warga kota El Fasher .. antrian antara warga lengkap dengan Donkey dan kuda, dan sedikitnya air yang didapat… menjadikan kerusuhan… hingga truk tangki milik UN termasuk FPU Indonesia diancam penduduk  agar tidak mengambil air di sumber air itu lagi …bahkan puncaknya terjadi perusakan kendaraan tangki air milik UN.

Mengisi air ke tangki
Mengisi air ke tangki.... perlu dikawal juga

Untuk menghindari konflik dengan penduduk, akhirnya pihak UN mengalah dengan mencari “waterpoint” yang lebih jauh … dan memang jaraknya sekitar 45 Km dari Camp FPU. Memang FPU Indonesia “self sustaintment” dalam memenuhi kebutuhannya sendiri termasuk air … maka itu dalam list property FPU indonesia dilengkapi dengan 4 tangki air … masing masing 2 buah kapasitas 10 rb liter dan 2 buah kapasitas 16 rb liter. Sebagai gambaran .. paling tidak kebutuhan air untuk seluruh pasukan FPU Indonesia yang berjumlah 140 (minus 3 orang termasuk saya yang telah kembali jadi jmlnya 137 org) adalah 100 liter per orang perhari untuk semua termasuk Mandi dan Minum, jadi totalnya adalah 13.700 liter perhari.  Memang bisa sekali angkut dengan truk yang 16.000 liter … namun karena jarak dan medan yang berat makanya biasanya kita membawa 2 buah truk secara bergantian…. dan selain itu perlu dilengkapi dengan pengawal dengan personel bersenjata ? kenapa .. wah… air ini komodity yang susah …! bisa dimungkinkan terjadi pengahadangan dari gerombolan bersenjata untuk merampok air .. dan ini pernah terjadi pada batalion Rwanda yang juga bertugas dengan UN..

Melintasi gurun menuju Water Point
Melintasi gurun menuju "Water Point"

Untuk personil yang mengurusi air ada teknisinya tersendiri terdiri dari Driver tangki, pengawal dan teknisi water treatment … air juga sesampai di camp dilakukan water treatment sehingga aman dikonsumsi dan digunakan pasukan FPU… hmmmm kalau sudah cerita begini … pasti kita berpikir deh: NO PLACE AS GOOD AS OUR COUNTRY…. hehe .. Indonesia we love you !!

Demikian update cerita dari Darfur .. kepada rekan – rekan yang masih bertugas :  Tetap semangat yaa !!!……

Foto courtesy Akbp Dr. Yanuar

KEBUDAYAAN MASYARAKAT DARFUR (II)

MASYARAKAT DAN DESA
Karena sebuah desa orang Darfur terdiri dari kumpulan keluarga, maka terdapat sebuah pengertian yang kuat dalam masyarakat dan pertalian keluarga. Desa dapat terdiri dari 180 keluarga, setara dengan 2.000 penduduk, yang semua saling kenal satu sama lain dengan sangat baik. Pada saat yang sama, seluruh desa saling berhubungan dan merupakan sebuah keluarga besar. Pendatang dapat menyatu dengan cepat dengan warga karena ketika mengunjungi sebuah desa , pendatang  dianggap sebagai keluarga dari desa tersebut.  Seorang tetangga dianggap sebagai saudara laki-laki atau saudara perempuan. Semua anak yang ada pada sebuah desa bermain bersama satu sama lain, dan dapat ditertibkan oleh setiap anggota masyarakat desa.

Anak - anak Darfur
Anak - anak perempuan Darfur

Desa orang Darfur, secara sekilas sangat sederhana, tersusun oleh kumpulan pondok yang disebut tukuls , dan mencerminkan sebuah pembelajaran untuk menyesuaikan dengan iklim yang kejam dan bentuk tanah yang sangat gersang pada daerah tersebut. Dua atau tiga pondok yang besar berada di dalam lokasi keluarga utama, yang tergantung pada jumlah anak yang di miliki oleh keluarga tersebut. Sebuah pondok adalah tempat hidup bagi suami istri, sebuah pondok untuk anak-anak perempuan dalam keluarga dan sebuah pondok yang lain untuk anak laki-laki. Sebuah pondok kecil yang lain diperuntukan untuk dapur. Sebuah pagar yang mengelilingi pondok sangat penting untuk perlindungan. Seorang istri mungkin juga memliki sebidang kebun, yang disebut Jobraka , dimana sayuran seperti kacang-kacangan dan ketimun tumbuh. Karena kebutuhan hidup sangat penting dalam kehidupan orang Darfur, di simpan ke dalam sebuah tempat atau gudang, atau zariba, yang menjadi tempat tinggal hewan peliharaan keluarga.

Sheikh, atau kepala suku, adalah orang yang sangat penting di desa. Pondokannya akan berada di tengah sehingga ia akan dengan sangat mudah untuk berhubungan dalam hal kasus yang darurat untuk menyelesaikan perselisihan atau untuk membantu menyelesaikan permasalahan warganya. Walaupun 90 % dari desa terdiri dari anggota-anggota suku atau desa, terkadang juga hadir tamu Faki atau Elsagirea yang merupakan laki-laki atau pengajar Al Qur’an yang sangat dihormati, juga mendapat tempat khusus.

Dara yang berada dekat dengan pondokan Sheikh, adalah sebuah tempat sebagai pusat bagi masyarakat untuk berkumpul,makan bersama dan untuk bersosialisasi. Faki dan Elsagirea juga mengajarkan Al Qur’an kepada anak-anak dan anggota yang lain dari Desa di Dara pada malam hari. Sebagai tambahan, meskipun tidak setiap desa memiliki mesjid, setiap desa harus menyediakan sebuah tempat dimana setiap orang dapat berkumpul untuk beribadah.. jika sebuah desa terlalu kecil, para penduduk desa akan berjalan bersama yang lain ke desa tetangga terdekat pada hari jum’at untuk melaksanakan shalat jum’at.

STRUKTUR KELUARGA, GENEALOGI DAN PERANAN GENDER
Rumah tangga orang Darfur terdiri dari kumpulan keluarga,dengan kakek, bibi, paman, dan sepupu-sepupu. Mereka memainkan peranan umun di dalm kehidupan satu sama lain. Merujuk kesatuan diantara anggota dari suku, perkawinan, kelahiran, dan kematian adalah kegiatan yang umum dalam kehidupan dari setiap anggota keluarga, dengan tanpa memperhatikan seorang individu adalah bagian dari keluarga dekat atau tidak.

Sebahagian besar dari kelompok besar di Darfur berdasarkan pada garis keturunan dari ayah dan genealogi melewati generasi ke generasi melalui tradisi lisan. Nenek perempuan khususnya memainkan peranan yang pokok dalam mendidik anak dalam hal sejarah tentang keluarga dan desa mereka,dan terkadang seorang anak kecil dapat mengetahui tentang sejarah keluarga dan desanya sebelum mereka mempelajari hal lain.

Salah satu dari peranan penting yang dijalankan oleh laki-laki adalah untuk melindungi keluarga dan desanya selama ada serangan. Kualitas dari kekuatan, kehormatan dan keberanian adalah akar yang kuat terhadap identitas kelaki-lakiannya, dan sangat dibutuhkan kualitas dari laki-laki untuk mereka menjalankan perannya di dalam desa dan sukunya. Laki -laki menyediakan sumber utama pemasukan bagi keluarganya. Orang Darfur dari suku non-Arab adalah petani dan laki-laki yang mengolah dan menjual hasil panennya selama musim hujan. Selama musim tidak bercocok tanam, para laki-laki akan bergerak menuju kota terdekat untuk menjual barang-barang,hasil panen dan daging hasil dari peternakan mereka. Orang Arab Darfur adalah pastoral nomaden yang menngembalakan hewan, terkadang melintasi wilayah timur Chad dan Republik Afrika Tengah. Sebelum konflik besar terjadi, suku-suku non-Arab seperti Zaghawa akan mempercayakan perawatan hewan gembalaan mereka ke suku Arab yang menjadi tetangga mereka (Flint and De Waal 2005:6-7).

Meskipun ada perbedaan kehidupan di daerah kota dan di desa, para wanita Darfur umumnya memainkan peranan yang sama. Wanita Darfur memainkan tugas dalam seperti memasak, membersihkan, membeli makanan dari pasar, mengumpulkan kayu bakar, mengambil air dari sumur dan menjaga peternakan. Mereka juga pemberi kasih sayang dan memperhatikan suami, anak dan orang-orang tua, mereka juga ikut bertani dengan cara menolong suami mereka untuk mengolah, menanam,dan memanen hasil panen serta menjualkannya di pasar dan mengolah jobrakas mereka sendiri. Sayuran yang tumbuh di jobrakas menyediakan sedikit sumber pendapatan yang lain bagi keluarga.

RUTINITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI ORANG DARFUR
Sementara suka-suku Arab menggembalakan ternak melintasi Darfur menuju negara tetangga, orang Darfur dari suku non-Arab (Black Africa)bercocok tanam untuk menghasilkan panen untuk di makan dan di jual untuk memperoleh profit. bercocok tanam dilaksanakan selama musim hujan, yang setidaknya berlangsung dari bulan Juni hingga September. Karena Darfur kekurangan sumber sungai, para petani bergantung pada hujan untuk mengolah pertanian mereka. Jenis tanaman mereka termasuk biji padi-padian, dan semacam gandum, seperti halnya sayur mayur misalnya bawang dan kacang-kacangan.

Selama musim hujan, rutinitas para petani dilaksanakan. Para wanita yang bangun pertama kali di pagi hari, memulai harinya sebelum matahari terbit. Pertama-tama dia akan menyiapkan makanan, kemudian susu hewan, dan akhirnya menuntun hewan tersebut menuju ke tempat gembala di dekat desa untuk diberi makan dan di mandikan. Setelah selesai, dia akan kembali ke rumahnya. Untuk memberi makan pagi dan the kepada suami dan anaknya. Assida, salah satu makanan utama di Darfur,yang merupakan campuran dari semacam padi-padian, sorgum, tepung dan jagung. Yang kemudian di aduk terus-menerus dan kemudian di taruh dalam pot yang di panaskan oleh api, yang memakan waktu cukup lama. Makanan ini dimakan seperti bubur dengan say uran di tuangkan kedalamnya dan terkadang disajika dengan tambahan madu. Kisra juga terkadang disajikan. Kisra serupa dengan Assida, dibuat dari bahan yang sama, tetapi karena kisra dimasak dengan cara yang berbeda maka ia menyerupai lembaran roti yang tipis. Beberapa lembaran kisra dilipat bersama dan disajikan dengan sup, daging, madu atau susu.

Setelah makan pagi, para lelaki akan berangkat bekerja ke ladang untuk mengolah tanaman. Beberapa anak nya akan menemaninya untuk bekerja di ladang, sementara yang lain, biasanya anak kecil akan merawat hewan peliharaan. Anak perempuan akan membantu ibunya mengerjakan tugasnya, termasuk menggiling biji padi, memasak makanan lain, dan mengumpulkan kayu bakar. Setelah seorang wanita selesai mengerjakan tugas-tugasnya di rumah, dia akan berangkat ke pasar. Disana, ia akan membeli daging dan sayuran segar, sebagaimana ia juga akan menjual sebagian hasil panennya dan barang-barang lain. Karena jarak yang cukup jauh antara rumah dengan pasar, ia akan membawa barang-barang di kepalanya atau di atas seekor keledai. Setelah kembali dari pasar, wanita itu (sebagaimana anak perempuan yang menyertainya) akan bergabung dengan suaminya untuk bekerja di ladang.

Setelah pekerjaan bercocok tanaman selesai dikerjakan, maka akan lebih tersedia waktu luang. Anak-anak akan lebih memperoleh waktu untuk bersekolah. jika berasal dari daerah pedesaan, orang dewasa lebih dapat bepergian ke kota untuk bekerja, menjual barang dan menukarkan hasil panen mereka dengan orang lain untuk barang-barang yang berasal dari Khartoum atau dari negara Afrika maupun dari negara Timur Tengah lainnya. Terkadang, hasil panen dijual untuk mendapatkan uang, namun dalam banyak kasus, orang Darfur menukar barang-barang dengan jagung, wijen, gula, teh, atau minyak.

Ketika musim hujan berakhir, dan pekerjaan menjadi tidak terlalu sukar, makanan dapat dimakan di Dara desa.yang dijadikan sebagai tempat bersama. Setiap orang membawa makanan mereka masing-masing ke Dara dan merasakan seperti makan di rumah sendiri. Disana, mereka dapat saling bertemu dan besosialisasi dengan keluarga dan tetangga mereka, membicarakan masalah sehari-hari, berita dan menyelesaikan perselisihan. Faki dan Elsagirea mengajarkan Al Quran kepada anak laki – laki dan perempuan di Dara pada malam hari.

Latihan di Padang Pasir….

Sebagai pasukan dalam penugasan pada “hostile area” seperti Darfur, selalu dibutuhkan kesiap – siagaan dalam menghadapi setiap ancaman, tercatat beberapa kali pasukan UN di  Darfur mendapat “ambush” dalam melaksanankan tugasnya, yang terparah terjadi di team site Heskenita, Darfur Selatan, dimana pasukan Nigeria Batalion diserang pada suatu sore oleh ratusan milisi bersenjata, tercatat 10 orang pasukan tewas, seperti saya pernah tulis disini.

Full Gear
Latihan tembak reaksi

Bentuk latihan yang dilaksanakan adalah tentu saja latihan “kontra ambush” , sehingga anggota FPU Indonesia selalu “aware” dengan kondisi apabila tiba – tiba di “ambush” oleh pihak tertentu.  Prinsip suatu latihan adalah kontiunitas, sehingga setiap anggota paham secara luar kepala apa yang harus dilakukan, tentunya dalam berbagai skenario yang diperkirakan mungkin terjadi…..

Latihan menghadapi ambush
Latihan menghadapi ambush

Dalam latihan ini anggota FPU Indonesia sudah memakai “gears” yang terbaru, seperti “Body Veist”, “Arm and Leg Protector” , yang disesuaikan dengan warna gurun,  sebelumnya kami memakai warna hitam  yang kurang baik buat kamuflase, bahkan menjadikan gampang dibidik… bagaikan “lesan (target) berjalan”.. karena warnanya yang sangat kontras dengan lingungan sekitar.

Apel Pasukan setelah latihan
Apel Pasukan setelah latihan

Namun perlu dicatat, kedatangan kami bukanlah untuk membawa masalah, namun memberikan yang terbaik untuk penyelesaian konflik di Darfur, tentunya sesuai “motto” dari Korps Brigade Mobil : “Jiwa ragaku untuk kemanusiaan …!”, nantikan kabar kami selanjutnya dari Darfur 🙂

ON LEAVE (alias cuti…)

)
Antrian masuk pesawat ketika transit di Doha, bersama ratusan TKI lainnya, termasuk kami ha ha ha

Inilah saat yang ditunggu tunggu selama 6 bulan ini, akhirnya setelah luntang – lantung mengawal peralatan FPU Indonesia dari Khartoum, Port sudan, Al Obeid dan “final destination” El Fasher, menyiapkan akomodasi FPU Indonesia di Transit camp, sampai tiba “Main Body” Pasukan FPU Indonesia, dan saya rasa inilah saatnya untuk rehat sejenak dari “kejamnya” cuaca gurun pasir El Fasher.

Inilah pesawat membawa kami pulang....
Inilah pesawat membawa kami pulang....

Aturan untuk cuti bagi kami agak berbeda dengan employee UN lainnya, sebagai pasukan (Troops contribution Country) kami tidak boleh lebih 10 % dari total pasukan boleh mengambil cuti pada saat bersamaan, jadi maksimum 14 orang dari 140 orang., kemudian dalam 1 tahun kami hanya diberikan 2 kali cuti @ 15 hari, namun saya mengambil keseluruhan sehingga mengambil full 1 bulan…. dan karena minimnya gaji yang diterima kami disini (yang tentunya berbeda dengan UN staff lainnya termasuk CIVPOL dan MILOBS) jadi rata – rata hanya bisa pulang sekali, selebihnya pasti tekor ha ha ha…. Penerbangan ke Indonesia dari Khartoum ada tiap hari,  menggunakan Emirates dan Qatar Airways, namun saya memilih yang kedua karena harganya lebih murah 500 usd dengan kualitas yang sama…

Yang jelas perasaan saya senang sekali mebayangkan bisa bertemu anak – anak dan yayang tercinta dan mohon maklum kalau agak susah dihubungi untuk sementara, karena lagi honeymoon 😛

Welcome to El Fasher, Darfur

Foto Bareng
Foto Bareng dengan tambahan personil

Wuih …. akhirnya perjalanan kami sampai juga di El Fasher, setelah menunggu selama 4 bulan, berturut – turut dari Port Sudan, Khartoum, Al Obeid dan akhirnya tempat missi kami di El Fasher, dan yang lebih menggembirakan lagi terdapat tambahan pasukan advance 7 orang, sehingga kami sekarang ber 10.

El Fasher adalah ibukota dari Darfur Region, terletak di utara Darfur, disini juga terdapat UNAMID (United Nations African Union Mission In Darfur) Head Quarter, jadi semua pusat operasi missi perdamaian UNAMID dikendalikan dari El Fasher, baik dari unsur civil dan Militernya, seperti saya katakan dalam tulisan sebelumnya, adalah suatu kebanggaan bagi FPU Indonesia mendapat post di tempat penting seperti di El Fasher (Force Portection Civilian Force) dan Force Protection Military force diserahi tanggung jawab batalion dari negara Rwanda.

FPU Indonesia dan unsur lain baik dari militer maupun sipil nantinya akan ditempatkan dalam suatu “supercamp” yang akan segara dibangun, sementara ini kami tinggal di “transit camp” di daerah Zam – zam, suatu tempat sedikit di luar kota El Fashir, fasilitas masih minim sekali, internet connection masih share dan ngantri dengan orang menggunakan fasilitas PBB, karena ternyata fasilitas internet pribadi yang saya beli semenjak datang ke Sudan tidak berfungsi, hubungan dengan Mobile Phone juga tidak berfungsi secara normal, dan lebih lengkap penderitaan kami karena tinggal di tenda tanpa fasilitas AC, dan minimnya air untuk MCK, ………. berbeda jauh dengan hidup kami sebelumnya sebagai “manusia Kontener”…….dan sekarang menjadi “manusia tenda” …..nasib – nasib….. 😦

Dalam kesempatan ini juga kami walaupun terlambat kami mengucapkan, Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir Bathin, dan mohon maaf kalau blog ini agak jarang di Update karena kendala yang saya sampaikan diatas :mrgreen:

FOR FPUers : JANGAN KALAH SAMA FPU BANGLADESH …!

* Bahan dari UNAMID BULLETIN judul asli : “Bangladeshi FPU in Action” , artikan sendiri yaaa… biar pinter bahasa inggrisnya… 🙂

The Bangladesh Formed Police Unit [FPU] is one out of the expected 19 FPUs to be deployed in Darfur as part of the slated 6432 man strong UNAMID Police component.

Deployed at Nyala in Sector South since November 25, 2007, it is so far the lone FPU in the mission with strength of 140, Despite initial logistical handicaps due to shipment delays, this pioneer FPU is slowly but steadily making its marks in the mission. Its self sustaining character necessitated that accommodation be addressed urgently. For four weeks they toiled relentlessly, erecting tents for offices, accommodation, and ablution at their super camp base. Courageously they braved the scorpions, snakes and dust and moved from their temporary Forward Operational Base, FOB, to the Super camp on January 21, 2008.

Once the accommodation issue was resolved, effective operational deployment began with the Sector South Police Commander introducing the FPU to firewood escort and confidence building patrols in Kalma, Otash, and El Salaam and El Sherif IDP camps.

The long range patrol from their base in Nyala to El Fasher in late February this year also provided an opportunity to evaluate their operational capabilities and acceptance by the host community. Feedback from the IDP camps and vulnerable villagers has been positive. “We feel more protected with the arrival of the FPU. We hope they will stay longer with us” Fatima Abdullah a female IDP at El Salaam said.

The FPU’s involvement in firewood escort has been of tremendous help to the IDPs. They can fetch firewood many more times during the week under the protection of the military and the FPU. The Bangladesh FPUssay they take particular pleasure in carrying out this exercise. “It is not just a duty for me. I feel morally satisfied rendering a service to humanity because humanity is one.” Enamuld Kabir FPU Platoon Commander and Liaison Officer said.

The Formed Police Units has as their primary focus to support individual Police officers in the effective execution of mandated tasks. They assist in the protection of vulnerable communities under threat of violence, conduct confidence building patrols and escort duties for IDPs as well as maintaining a presence in IDP camps.