Julio Canizio, dari berjuang melawan Indonesia, hingga berjuang untuk perdamaian

Ada kenangan tersendiri ketika berada di Port Sudan, hari -hari kami ditemani JULIO CANIZIO employee UN yang bertugas di MOVCON, ia seorang yang menyenangkan, ramah, smart, helpfull dan satu lagi.. sangat fasih berbahasa Indonesia, lho … he he … Ia adalah warganegara dari negara yang baru mendapat kemerdekaan dari siapa (?) hiks hiks dari Indonesia….. yaitu Timor Leste…

Hari demi hari kami banyak ngobrol tentang apa saja, sampai suatu saat secara tidak sengaja saya bertanya kepada dia : “Pak Julio, waktu masa Timor Leste masih bagian dari Indonesia bapak kerja dan tinggal di mana ? di Dili kah ?” ia menjawab : “oo tidak pak, saya tidak tinggal di kota….” , setelah itu ia mengalihkan pembicaraan. Mmmmmh saya berpikir mungkin ia tidak mau bercerita hal yang agak sensitif, ok saya juga tidak memaksa….

Dalam kesempatan lainnya kami bertemu lagi, dan berbicara lama dan seru, sampai ia bercerita sendiri : “Pak, saya dulu berjuang melawan Indonesia, 20 (dua puluh) tahun saya berada di hutan, melakukan gerilya”. waduh nampaknya benar dugaan saya Pak Julio agak enggan membicarakan soal Tim tim karena memang dia adalah pejuang Timor Leste…..

Kami bangsa Indonesia sudah memandang permasalahan itu sudah merupakan “masa lalu”, dan tidak ada dari kami bangsa Indonesia mengorek lagi luka yang lama, biarlah ini menjadi sejarah kelam yang sama – sama pernah kita alami, dan nampaknya Julio juga sependapat, tidak ada sedikitpun rasa dendam yang timbul dari dirinya, ia juga menganggap hal itu sudah “masa lalu” dan bangsa Timor Leste lebih konsentrasi untuk mencapai masa depan sebagai suatu negara yang bermartabat…. ok pak akuuuuuurrr……

Inilah ringkasan cerita tentang kehidupan pak Julio, tentunya tidak dalam satu pertemuan : Pada saat Indonesia melancarkan agresinya ke Timor Leste pada tahun 1976, Julio sedang menjalani kuliah tahun terakhirnya pada universitas di Dili, sejarahnya sebenarnya dimulai ketika adanya “Flower Revolution” di Portugal yang membawa dampak ke semua negara jajahan Portugal, termasuk di Timor Leste, karena kekosongan kekuasaan dari penjajah maka Timor Leste ingin merdeka juga, namun terkendala dengan dua partai besar yang berbeda aliran yaitu UDT (União Democrática Timorense) dan Fretelin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) mereka sama – sama ingin berkuasa dan malah terjadi perang saudara, UDT tersingkir ke perbatasan dan berdasarkan Deklarasi Balibo yang menyatakan keinginan bergabungnya masyarakat Timor Leste untuk bergabung dengan Indonesia (walaupun kenyataannya tidak semua).

Buntut dari agresi tersebut, Julio yang seorang aktifis dari partai Fretelin berjuang melawan pendudukan dan lari ke hutan, juga tidak melanjutkan kuliahnya… empat tahun kemudian pada tahun 1980 ia kembali ke ibukota Dili karena tidak tahan berjuang di hutan, secara diam diam ia mendaftar lagi pada sebuah SMA mengulang dari kelas 1, walaupun pada saat itu ia tidak bisa berbahasa Indonesia, namun karena ia telah menyelesaikan sekolah lanjutan dan bahkan sudah kuliah, sekolah SMA dirasakan ringan saja (menjadi juara kelas juga), sekalian belajar bahasa Indonesia, namun sayang ahirnya penyamaran Julio ketahuan oleh lawan lawan politiknya, dia di kejar – kejar hingga sering harus kabur dari sekolah, ia sampai didatangi gurunya seorang ibu dari jawa yang mendatangi rumahnya dan membujuknya agar mau kembali masuk sekolah, dan menawari untuk mendapat beasiswa kuliah di jawa. Namun karena nyawanya terancam ia kembali lari kehutan untuk berjuang….

Maka dimulailah pengembaraannya yang panjang dengan bergerilya melawan pasukan TNI, ia kemudian menikah dan kemudian membawa istrinya ikut ke hutan, dan bisa dibayangkan ketiga anaknya lahir dalam  persembunyian mereka di hutan, kenapa ia dan keluarga bisa tetap survive selama 20 tahun di hutan……. itu semua karena  jalan menuju lokasi persembunyian sangat susah dicapai, menurutnya pasukan TNI belum pernah ada yang sampai ke tempat persembunyiannya, anak – anaknya diajarinya sendiri agar tidak tertinggal pengetahuannya dengan anak – anak yang bersekolah, untuk persediaan makanan ternyata warga desa yang bersimpati masih memberikan bantuan makan, dan mereka secara periodik “turun gunung” untuk mengambil bahan makanan, bagi rekan – rekan mereka yang “tidak teridentifikasi” malah banyak yang meneruskan kuliah dan banyak juga menjadi Pegawai Negeri (bahkan TNI) dan melakukan gerakan “clandestin”…

Namun keadaan segera berubah semenjak adanya persiapan untuk Jejak pendapat bagi warga Timor Leste, pada masa tersebut dilakukan gencatan senjata sehingga Julio dan keluarganya bisa turun gunung, ia melamar menjadi “local Staff” pada UN, karena kemampuan bahasanya ia langsung diterima, dan terus berlanjut sebagai local staff sampai berdirinya negara Timor Leste, dan pada tahun kemarin bergabung di United Nation Volunteer, ia beserta 6 orang rekannya dari Timor Leste mendapat kesempatan untuk ikut pada missi PBB di Sudan sebagai seorang “peace keeper”,  memperjuangkan perdamaian.

Sekarang Julio dan keluarganya hidup tenang di ibukota Timor Leste, Dili…. ia juga dikaruniai anak – anak yang pintar, putranya pertama mendapat beasiswa untuk menjadi mahasiswa kedokteran di Cuba, sedangkan dua adiknya masih bersekolah menengah lanjutan di Timor Leste…..

Kata Julio : “Begitulah bapak, saya masih beruntung masih diberikan Tuhan umur, pekerjaan dan keluarga yang mencintai saya, banyak teman – teman saya gugur di pertempuran, sedikit sekali  diantara mereka yang selamat seperti saya….”, demikian kata Julio menutup percakapan.

Moral dari cerita ini adalah…. Menjadi pahlawan adalah : Tepat pada waktunya dan berhasil perjuangannya….. dulu Julio dicap sebagai GPK (gerakan pengacau keamanan) namun setelah berhasil…. ia menjadi pahlawan bagi negaranya, contoh lainya mungkin pejuang palestina.. mereka sekarang disebut teroris, tapi bayangkan kalau berhasil….mereka akan disebut pahlawan….. makanya ada pepatah : “jangan jadi pahlawan kesiangan” , artinya jangan menjadi pahlawan pada saat yang tidak tepat, anda bisa jadi pecundang…. mmmhhhh bisa jadi seperti perjuangannya letkol untung cs sewaktu mau mengganti ideologi negara ini, bayangkan kalau berhasil ? ia menjadi pahlawan bukan ?

HARI HARI DI PORT SUDAN VII: YANG TERSISA

Beberapa hari yang lalu saya mendapat email dari Viktor Hernandez ia adalah koordinator FPU di UNAMID ia menulis begini :

” MOVCON has confirmed that your stay at Port Sudan is not longer necessary, therefore this Office will do the necessary arrangements along COE Offices to move you out to El-Obeid , where you will monitor the arrival of your COE equipment.”

MOVCON = Movement Control (seksi di UN yang mengurusi pengiriman barang dan personil), COE = Contigent Owned Equipment (seksi yang mengurusi peralatan kontingen yang bertugas di UN), El – Obeid = Suatu kota tempat pusat logistik UN terletak di tengah Sudan, semua pergerakan barang UN harus melalui tempat ini.

Jadi berdasarkan email ini, kami diminta untuk segera bergeser ke al Obeid, untuk kembali untuk melakukan hal yang sama seperti di Port Sudan mengecek semua peralatan kita, karena El Obeid adalah “half way” menuju Ef Fasher Darfur, tempat dimana pasukan kami akan ditempatkan………

Sungguh suatu kenangan yang tidak terlupakan, hari – hari di Port Sudan, menjelajahi pelabuhan mengecek kontainer kita, mencoba survive dengan apa yang kita miliki dan memahami budaya masyarakat setempat….. Di bawah ini saya lampirkan beberapa foto yang belum sempat ditayangkan mengenai Port Sudan….


sepanjang garis pantai “Satihul Bahar” ada tempat bersantai.


Kota Port Sudan yang lenggang


Stasion bus tempat sehari – hari kami berangkat ke kantor atau ke pelabuhan


Tukang ikan goreng favorit kami


Kopi Jahe di penjual kaki lima langganan kami

Wahh ….. namun demikian perjalanan saya masih panjang, ini hanya awal dari perjalanan panjang selanjutnya… masih lama lagi menunggu sampai fixed seluruh barang sampai di “final destination”  Darfur dan memulai missi yang akan berjalan 1 tahun lagi, dan saya sendiri sudah 3 bulan disini…… jadi kebayang kan ? berapa lama saya akan berada di negara ini ?

Namun walaupun demikian, saya sudah menemukan bagaimana cara menghindari kejenuhan … yaaa itu, nikmatilah setiap perjalananmu, ada suatu yang tergores dalam catatan sejarah hidupmu…. termasuk disini di Port Sudan……….


Pesawat kami sudah menunggu, menuju langkah selanjutnya… good bye Port Sudan…

HARI – HARI DI PORT SUDAN V: MOBIL NAIK MOBIL

Wahh lega……., akhirnya rombongan pertama dari peralatan FPU berangkat juga ke Darfur….

Tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk mempercepat proses keberangkatan, kita hanya bertugas melihat dan mencatat, semua urusan pengangkutan dan lain – lain adalah urusan bagian Movement PBB.

Pengangkutan barang dilakukan setelah melalui proses yang panjaaaang sekali dari : Bongkar muat di pelabuhan, pengurusan Bea Cukai, pengecekan barang, pembukaan tender bagi transportir, penetapan tender, pembuatan surat tugas, pembuatan manifest barang, cek ulang (cuma disini andil kita), akhirnya bisa diberangkatkan ke tempat tujuan…… (dan kita harus ke tempat tujuan untuk kembali mengecek barang yang sampai)

ini adalah laporan pandangan mata ketika menyaksikan keberangkatan perdana barang kita 🙂

Bashir Palace Hotel

Pagi hari sebelum berangkat ke tempat pengangkutan…. (sekalian numpang narsis 😛 )

tampak belakang

Ooooo begini toh truk pengangkut mobil ?

lepas canopy

Karena “mentok” terpaksa kanopi harus dibuka dulu….., nanti dipasang lagi yaaa….

naikin truk

Kalau ini cara naikin truk, lewat “gundukan” tanah yang berfungsi sebagai jembatan….

P1000557

Naikin mobil sih gampang, sudah ada jembatan naik turun, tinggal naik… dengan catatan yang naik harus bagian atas dulu….

apc naik truk

Truk dan APC bersamaan berangkat…. karena beratnya, jadi maksimum cuma 2 item sekali angkut (dengan tambahan trailer)

mobil naik mobil

Kalau yang ini pasti bisa muat banyak, atas bisa bawahpun bisa ….. inilah namanya : “Mobil naik Mobil”

kartun

HARI – HARI DI PORT SUDAN IV: METAFORMOSA

Sudah lebih sebulan kami di Sudan, rasanya sudah lebih mengenal budaya orang sini, belajar bahasa Arab, belajar makan makanan mereka, ini semua dalam kaitan SURVIVAL bagaimana kita bisa menyesuaikan diri sedekat mungkin dengan orang disini…. hmmmmh apa ya yang belum..? oooh belum lengkap rasanya kalau belum berpakaian seperti mereka….

sudanese

Mereka berpakaian memakai Gomis, yaitu kain putih saja yang dijahit sampai mata kaki… pembuat baju Gomis ini ada di sekitar pasar …. para penjahit ini menggelar seluruh peralatan menjahitnya di trotoar, dan memajang hasil jahitannya di tembok – tembok. Sampai pada satu saat kami berkesempatan untuk menjahitkannya… di sana harga sudah paket termasuk kain dan ongkos jahit………dan ikutilah kisahnya :

nawar

Om nawar donk…. berapa sih harga bikin gomis…? jangan mahal mahal yaaa…

ukur

Ok gampang mas… sini sini .. tak ukur dulu….. walah…. si mas bikin saya rugi ajah… kainnya butuh banyak niiiih…..

tukang jait

Ok ane kerjaiin dulu yah… besok ente dateng aja… dengan syarat … ngga boleh ngutang …..

metaformosis

Nah… jadi deh….. halah… tetep aja ngga sama kaya orang Sudan,,,,, tapi jangan kuatir kita paling tidak sudah ber “metaformosis” … tunggu beberapa bulan lagi… pasti ngga ada bedanya hahahaha…

jamuan

Inilah sang ‘metaformosis”…. menunggu makan malam karena kelaparan……. *enak juga pake gomis, dingin…. dan gendutnya ngga keliatan* ha ha ha…..

HARI – HARI DI PORT SUDAN III: WISATA KULINER

Kepala kambing ?

Sebenarnya ini termasuk wisata kuliner Ekstrim, tau ngga apa yang diatas ? Kepala Kambing …. wueeeks…. sebenarnya saya kalau ngga diajak Ahmad rekan saya itu agak ngeri – ngeri sedap, karena berpikir tingkat kolestrol dalam darah saya pasti akan meningkat tinggi sekali kalau makan daging kambing…… tapi karena jiwa “survival” saya yang tinggi .. 🙂 maka lanjuut mang, cuek ajaaaaa…

Penjual menyiapkan

Penjual kepala kambing ini banyak berjejer di sekitar terminal bus Port Sudan, mereka “memajang” kepala kambing tersebut, dan apabila ada orang yang memesan, mereka akan menggorengnya lagi dengan mencincangnya dan menambahkan bawang dan bumbu lainnya…. Kepala kambing itu terlebih dahulu di “pecahkan” dengan palu dan kemudian dipotong kecil – kecil dan membuang tulang kerasnya….. Baru kemudian dihidangkan dalam nampan besar dan ditambah roti untuk memakannya…… mmmmmh dari baunya sih Yummmy ……. pada saat dirasakan …. enak juga…. tapi jangan dibayangkan kepala kambingnya ha ha ha, karena menurut mereka yang paling gurih adalah bagian “mata” nya…… Mak nyuuuuss, kata mas Bondan…..

Makan2

Haduuh kenyang….. sampe lemas begini…., sesudahnya saya berkata: “Sukron Katsiron Sa’ yid, Halas……Kam ? Asroh Pound ?….. Tamam ! , terjemahannya : “Terimakasih mas, sudah nih …. berapa ? Sepuluh Pound ?…. ok bagusss……”

kekenyangan

OK, sekilan laporan pandangan mata kami dari Port sudan…. 😛

HARI – HARI DI PORT SUDAN II : BUS UMUM

( Pak supir numpang beken )

Bagi anggota TCC (Troops Contributing Country) yang pastinya tidak dapet MSA (Monthly Salary Allowance) dan belum ada induk pasukannya, kemampuan bertahan hidup di negara orang memang diperlukan…. kita harus sedapat mungkin bergaya hidup seperti orang lokal, naik kendaraan umum, belanja di pasar lokal,… tujuannya sih ngga lain dari : PENGHEMATAN uang Perjalanan Dinas (JALDIS) yang kami bawa dari Indonesia… 😛

( om .. om permisi numpang lewat, mau duduk…)

Pada awalnya kami di Port Sudan, kami ke kantor UN atau ke Pelabuhan naik tuk – tuk, jaraknya cukup jauh sekitar 10 pound Sudan ( 5 usd) … berat juga kalau harus setiap hari apalagi harus PP, ternyata ada yang lebih murah ! …..naik bus umum …. yang perorang hanya ditarik 50 cent… hahaha lumayaaaan….

Photobucket

( Mas…. tolong ongkosnya….. uang pas yaa…. halah ! bayar yah…??? di Indonesia Polisi ngga bayar … wakakakakak)

Bus umum ini kalau bisa dibayangkan seperti Metro Mini di Jakarta….. lengkap dengan kernetnya yang bertugas memanggil penumpang dan menarik ongkos dari penumpang….. Bus ini berhenti di stasiun bus pusat Port Sudan, yang berdekatan dengan penginapan kami….. mengenai ketertiban di jalan saya salut juga… bus ini tidak ngebut berebut penumpang…. dan tidak ada penumpang yang berdiri berdesakan…. mereka lebih memilih bus selanjutnya…. saluuut…

Photobucket

( Stasiun Bus Utama ….. tariiiiiiiiik maaang……)

HARI – HARI DI PORT SUDAN

Cek nomer dan segel Container

Untuk beberapa waktu terakhir hari – hari kami hanya berkutat pelabuhan dan hotel dan Gudang UN MOVCON, tugas kita team kecil ini (3 org) adalah : Mengecek barang – barang milik kontingen Indonesia yang turun di pelabuhan, mengeceknya, dan membuat hasil pengecekan tersebut dan diketahui oleh pihak UN, dan bukan hanya itu ternyata…. kami harus mendampingi peralatan ini sampai ke Darfur yang berjarak 2700 km dari sini, dan memakan waktu di jalan sampai sebulan lamanya…..

Mobil FPU Indonesia

Memang konsep TCC (Troop Contribution Country) pada awalnya diberlakukan unit militer yang bertugas di misi PBB, namun semenjak diperkenalkan FPU (Formed Police Unit) yaitu Satuan Polisi berseragam yang paramiliter, maka diberlakukan juga aturan TCC, yaitu kita mencukupi segala kebutuhan nya sendiri (self sustainment). Jadi perlengkapan untuk FPU Indonesia (yang anggotanya 140 orang) jadi luar biasa banyaknya, bisa dibayangkan kalau peralatan kita terangkut dengan 143 container 20 feet, belum lagi sejumlah 63 kendaraan, suatu jumlah yang sangat fantastis bagi kami yang baru mengenal konsep ini…. mungkin bagi TNI sudah punya banyak pengalaman dengan ini, dan terakhir mereka ikut dalam misi UNIFIL di Lebanon…

Truk yang akan kami gunakan

ini sebagian foto kegiatan kami, menjelajahi kontainer di pelabuhan Port Sudan …. di hari yang terik panas…. wuiiih…..

Salam dari kami, dari belantara container…..