Setelah bertugas hampir 2 tahun di Direktorat Tindak Pidana Siber, Badan Reserse Kriminal Polri, saya menyadari kejahatan siber di Indonesia, yang mempedomani UU ITE sebagai dasar penyidikannya dan beberapa undang undang lainnya, adalah kejahatan yang sangat kompleks, tidak hanya kejahatan core siber dalam artian software, data dan jaringan internet, namun juga aspek perilaku manusia di lingkungan siber, yaitu kebencian, rasa permusuhan, penghinaan, kebohongan, makanya dalam penanganannya kita selalu membagi dua antara: Computer Crime yang merupakan kejahatan computer itu sendiri dan Computer Related Crime, kejahatan yang menggunakan computer sebagai sarana.
Indonesia mempunyai UU ITE yang powerfull, karena tidak hanya mengatur Computer Crime seperti tertuang dalam Konvensi PBB di Wina tahun 2000 yaitu: Ilegal Access, Ilegal Interception, Data Interception, System Interference, dan Missuse of Device, namun juga perilaku kejahatan yang menggunakan Computer sebagai sarananya.
Yang saya catat dalam perkembangan hukum ITE, terjadi banyak bongkar pasang, menjadi hukum yang dinamis, pada awal UU ITE adalah masa sulit bangi penyidik UU ITE karena membutuhkan ijin pengadilan apabila hendak melakukan upaya paksa, hal ini sangat mengurangi kelincahan penyidik dalam beroperasi, kemudian UU ITE diamandemen lebih mengadopsi apa yang dilakukan penyidik dalam KUHAP, kemudian UU ITE berjalan kembali, khususnya pasal – pasal Pidana Umum yang masuk ranah ITE, pasal pencemaran nama baik dan penghinaan menjadi ajang saling lapor dari masyarakat, sedangkan ada kesan bahwa kritik kepada pemerintah dapat diberangus melalui UU ITE, hal itu menjadi perhatian khusus dari Presiden Jokowi, yang memerintahkan Kapolri agar lebih bijak menerapkan pasal dalam UU ITE, dalam rapat pimpinan TNI Polri Februari 2021. Atas dasar instruksi ini terpikirlah untuk membentuk sistem peringatan virtual Polisi (PVP) dan meninjau kembali UU ITE, serta timbullah Surat Keputusan Bersama (SKB) yang meninjau ulang pelaksanaan UU ITE khususnya masalah pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.
Dalam kejahatan Computer Related Crime lainnya, seperti penipuan online terlihat sangat meningkat pada saat pandemic Covid 19, yang jelas karena pembatasan sosial, masyarakat mengambil alternatif belanja online, namun sayangnya banyak perbelanjaan itu tidak melalui platform resmi jual beli, melainkan penjualan yang ditayangkan di media sosial, yang tentunya rawan penipuan.
Yang lebih kompleks lagi adalah penipuan online yang menggunakan Social Engineering, terhadap korban yang justru orang yang berpendidikan tinggi, para pelaku tahu benar memanfaatkan kegalauan orang, dengan berpura pura sebagai CS dari sebuah bank misalnya, memberitahu korban bahwa Kartu Kreditnya bermasalah , dipergunakan orang lain, kemudian melakukan penipuan dengan menjadikan korban memberitahu One Time Password (OTP) sebagai sasaran akhirnya untuk mengambil alih akun.
Masalah interupsi ke dalam system (Hacking) diketahui menjadi lebih marak, dengan timbulnya banyak kejadian bocornya data pribadi milik lembaga pemerintah seperti BPJS, dan banyak juga perusahaan dan lembaga yang menjadi korban Ransomware. Sehingga perlu dilakukan percepatan dalam implementasi UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) sehingga setiap lembaga atau perusahaan mempunyai tanggung jawab terhadap data masyarakat yang dimilikinya.
Kita berharap masyarakat akan lebih aware terhadap kejahatan Siber, ada banyak referensi dari Media mainstream, maupun Media sosial, karena tentunya akan ada modus operandi yang baru dari setiap kejahatan.
Ikuti platform media sosial kami (semuanya Verified/centang biru):
Twitter : @CCICPolri
Instagram : ccicpolri