Mengatasi Krisis Hubungan Masyarakat pada Kepolisian

Saya belakangan ini jadi seperti pak Susno dalam beberapa statementnya yaitu ia jadi malas menonton TV… hehe, ya begitulah yang saya alami… berbagai hujatan dan cercaan mengenai ketidak – profesionalisme-an Polisi dan betapa mudahnya Polri diatur oleh ‘mafia peradilan’ .. walaupun Polri belum tentu bersalah tapi seakan – akan sudah dihukum sebelum diadili …

Ya sudahlah, kita mengikuti saja perkembangan selanjutnya, lagian saya sendiri tidak bernafsu membahasnya…. saya hanya ingin bercerita bagaimana Kepolisian Leichester di Inggris yang mempunyai masalah kurang lebih sama dengan Polri sekarang bisa menyusun strategi dalam menanggulangi krisis kepercayaan masyarakat, begini ceritanya : (Hal ini didapat dari slide presentasi dg judul :  PR crisis @ Leicester Police Departement, sumber dari sini )

Nina Hobson, The Undercover Mum

– Seorang Reporter bernama Nina Hobson melakukan ‘undercover’ untuk melihat lebih dalam tentang masalah perpolisian di Inggris, dan menemukan bahwa beberapa oknum Leicester Police Departement  melakukan ‘Harrasment’ terhadap pelapor yang merupakan korban pemerkosaan, korupsi di bidang administratif, dan ‘pembiaran’ terhadap kejahatan di setiap level… beritanya bisa dilihat disini dan disini

– Anggota Polisi Leicester diketahui terlibat dalam:

Pelecehan sexual/ harasment.

Mengkesampingkan,  pilih – pilih terhadap kasus yang akan mereka mau tangani atau tidak.

Diketahui mereka melakukan pemborosan biaya administrasi/operasi terhadap kasus yang mereka tangani. (Korupsi)

Kepolisian Leicester kemudian berpikir keras, bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat yang telah terlanjur sirna, tentunya langkah yang harus diambil adalah memberi tahu masyarakat bahwa  :

Mereformasi anggota yang terlibat atau melakukan sanksi agar mereka berubah.

Memberi tahu masyarakat bahwa investigasi kasus per kasus  yang dilakukan terhadap anggota yang terlibat berdasarkan laporan Hobson sedang dilakukan.

Berdasarkan pemikiran diatas maka strategi Humas yang diambil oleh Leicester Police Departement adalah menggunakan kredibilitas  pejabat tinggi Kepolisian Leicester sebagai ‘spokeperson’,  hal itu merupakan point yang krusial sebagai pertanda keseriusan.

Taktik kehumasan yang digunakan adalah:

– Press Release harus mengidikasikan bahwa issue yang diangkat Hobson sedang dalam penanganan.

Harus mengindikasi bahwa para petugas yang melakukan pelanggaran dan ‘perbuatan yang tidak diinginkan’ sedang menjalani tindakan disiplin dalam rangka pemeriksaan, dan mereka adalah ‘setitik nila yang merusak susu sebelanga’.

Harus juga disebutkan bahwa ada juga petugas yang disiplin dan bangga dalam melakukan pekerjaannya, hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua petugas kelakuannya ‘tidak dapat diterima’, karena itu laporan Hobson tidak sepenuhnya benar.

– Menggunakan kehumasan dari sumber yang kredibel:

Representasi dari pejabat tinggi kepolisian Leicester adalah bagian dari strategi, yaitu Chief Constable Matt Baggot, ia perlu membuat statement bahwa ia mengutuk ‘kelakuan menyimpang’ anggotanya seperti yang disebutkan dalam laporan Hobson.

Pelaku kehumasan  tidak mempunyai otoritas dan  tidak usah melakukan ‘pembelaan diri’ sehingga masyarakat akan menilai ‘jujur’ dan ‘kredibel’.

– Beberapa hal lain yang harus dilakukan

Kepolisian harus juga menunjukkan bukti tertulis bagaimana hal ini bisa terjadi.

Terlihat adanya ‘tindakan’  dan ‘usaha’ yang serius untuk mereformasi sistem kerja polisi, dan masyarakat harus melihat bahwa ‘perubahan’ itu telah terjadi dibandingkan hanya ‘menghukum’ pelakunya, atau merubah apa yang tertulis dalam laporan Hobson.

Masyarakat sendiri didesak untuk melaporkan setiap perlakuan atau tindakan yang tidak sepantasnya dilakukan kepadanya oleh Kepolisian Leicester, seperti : Penyalahgunaan wewenang, Harasment, mengacuhkan panggilan darurat dan sebagainya.

– Batas Waktu

Yang harus dilakukan segera adalah : ‘press release’ atatau ‘statement’ harus dilakukan maksimal 2 hari setelah laporan dikeluarkan.

Bila dilakukan investigasi internal mungkin akan sulit ditetapkan batas waktu, yang jelas hal ini perlu dilakukan untuk mendapatkan permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuh kepolisian Leicester.

Batas waktu untuk mereformasi yang paling baik adalah 6 bulan hingga 1 tahun, batas waktu ini adalah yang terbaik jika ingin melihat progress secara keseluruhan mengingat banyaknya kaitan dengan berbagai departemen lain di pemerintahan.

– Metode Evaluasi

Hasil dari Investigasi Internal adalah indikator terbaik dari suksesnya mengatasi masalah ini.

Harus dilakukan survey melalui telepon, surat maupun email terhadap masyarakat apakah tanggapan masyarakat, apakah Kepolisian Leicester telah berubah atau tidak ?

Polisi harus meningkatkan kualitas pelayanan  sehingga masyaerakat makin meningkat kepercayaan terhadap Kepolisian Leicester apabila ini terjadi adalah indikator yang sangat baik ketimbang hanya mempermasalahkan dan membantah (membela diri) dari Laporan Hudson.

Suatu upaya yang bagus bukan dari Kepolisian Leicester ? Kini dalam waktu yang singkat Kepolisian Leicester kembali mendapat kepercayaan Masyarakat.  Salute up !

Babak Baru Antasari, Apapun Bisa Terjadi..

Kasus Antasari telah memasuki babak baru yaitu sidang pengadilan, belum beberapa lama bergulir sudah menuai kehebohan yang luar biasa, diantaranya : Pengakuan terdakwa pelaku Eksekutor terhadap korban Nasrudin yaitu:  Edo Cs yang mengaku mendapat penyiksaan dalam pemeriksaan kepolisian sehingga mengikuti saja ‘skenario’ para penyidik,  Tuduhan yang dilemparkan oleh terdakwa Antasari bahwa Ia hanya merupakan korban dari upaya pelemahan KPK, serta yang paling terakhir yang tidak kalah hebohnya adalah pengakuan terdakwa Wilardi Wizard bahwa keterangan yang ia tuangkan dalam BAP adalah berdasarkan tekanan dari pimpinan Polri dengan harapan ia tidak dipidanakan hanya diberi ‘hukuman disiplin’… drama apa selanjutnya yang akan terjadi di sidang pengadilan ? kita tunggu saja apa yang akan terjadi ….

Antasari dan team Pengacara, courtesy detik.com
Antasari dan team Pengacara, courtesy detik.com

Peran Media juga sangat menentukan dalam membentuk opini masyarakat, dan hal inilah yang dimanfaatkan para pengacara terdakwa, mengenai hal ini sudah saya duga… dan sudah pernah saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya:  “Akankah Antasari Azhar Bebas akibat pembelaan Media ? (Melihat kasus OJ Simpson)” . Apalagi kalau disadari peristiwa Antasari hingga terakhir Bibit dan Chandra saling berkaitan, dan merupakan berita yang sangat menarik bagi masyarakat, dan Momentum ini sangat dimanfaatkan oleh para pengacara dan terdakwa untuk membentuk opini ‘inosence’ mereka … 🙂  hehe berhasil ngga ya ?…

Nah, sekarang kita mengupas bagaimana sih sebenarnya cara melihat “Kebenaran” dalam sidang pengadilan ??? ….

Sidang Pengadilan bagi saya adalah ‘ring tinju’ antara Jaksa penuntut Umum dan Pengacara/terdakwa dengan wasitnya adalah Hakim, jadi dalam sidang pengadilan “KEBENARAN” akan dinilai oleh hakim, ia mempunyai hak yang teramat sangat Istimewa untuk menentukan siapa yang salah siapa yang benar … mereka hanya bertanggung jawab kepada TUHAN atas keputusan yang mereka ambil…

Tentunya untuk menilai KEBENARAN itu Hakim melihat dari Alat bukti, yaitu apa saja yang harus ia lihat sebagai Bukti di sidang Pengadilan, untuk meyakinkan Hakim pada suatu KEBENARAN, seperti dalam KUHAP Pasal 184 disebutkan sebagai berikut:

(1) Alat bukti yang sah ialah:

a.keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c.surat;
d.petunjuk;
e.keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Jadi sebenarnya keterangan para terdakwa yang muncul dalam pemeriksaan awal di Kepolisian kurang berarti, karena sejatinya tugas pembuktian adalah tugas Jaksa di Sidang Pengadilan… Jadi bisa – bisa saja para terdakwa mencabut keterangannya pada waktu diperiksa Polisi, bahkan apabila terdakwa tidak mau memberikan keterangan apa – apa pada waktu diperiksa Kepolisian diperkenankan.

Nah, sekarang tidak heran kan kenapa pada saat pengadilan kenapa para terdakwa memberikan keterangan yang berbeda dibandingkan pada saat diperiksa Polisi …. Adalah Hakim yang diberi kepercayaan oleh TUHAN untuk menilai KEBENARAN dalam sidang Pengadilan…

Dalam sistem hukum kita yang Continental System peran Hakim memang “setengah Dewa” karena dalam sidang pengadilan seperti kasus Antasari hanya ada 3 orang hakim yang menentukan Nasib seseorang, beda dengan sytem Anglo Saxon seperti di Amerika Serikat, KEBENARAN bukan urusan Hakim tetapi JURI yang berjumlah 18 orang (bisa lebih sedikit atau lebih banyak) … Hakim hanya menetapkan hukuman setelah para juri menentukan terdakwa Guilty (bersalah) atau tidak, jadi sebenarnya di Indonesia tugas hakim ada 2 yaitu Menentukan KEBENARAN dan Menentukan Hukuman.. hebat kan ? Nah menurut pendapat pribadi saya, penggunaan Juri dalam sidang pengadilan bisa lebih obyektif kan ? apakah sistem akan berubah ? entah lah hehe….

Sekarang pertanyaan selanjutnya apakah KEBENARAN yang HAKIKI akan muncul dalam sidang pengadilan ???? Apakah terdakwa dinyatakan Bersalah atau tidak Bersalah ? Saya tidak berani menjawab… kita pasrahkan kepada tuan tuan “setengah dewa” tersebut..  dilain pihak silahkan pak Jaksa , pak pengacara beragumen di “ring tinju” sidang pengadilan … untuk Media Pers … silahkan “blow up”  biar seruuu hahaha….

Image Tertindas (Polisi Vs Rakyat ? )

Nah….. inilah yang menjadi problem berat bagi Polri dalam beberapa waktu belakangan ini…. KPK secara tidak sengaja tiba – tiba tergambarkan sebagai sebuah lembaga yang tertindas dan teraniaya oleh sebuah lembaga besar … hehehe dan mohon maaf  “kesan ketertindasan ” ini digambarkan sendiri oleh seorang pribadi, yang juga seorang anggota Polri (walaupun pernyataan ini tidak mewakili institusi) …. Penggambaran “cicak” dan “buaya” ternyata berdampak sangat besar, kesan yang ditangkap oleh sebagian besar masyarakat Indonesia KPK (apalagi setelah pak Bibit dan Chandra ditahan) adalah sebuah institusi yang “tertindas” dan “teraniaya” … sehingga gelombang simpati dari masyarakat terus bergulir seperti bola salju yang semakin lama semakin besar, dan ini menjadi komoditas media yang sangat “laku” dijual … hehe … memang pintar TVone atau MetroTV  dari peristiwa ini mereka mendapat “spot” iklan yang besar….

Pada tulisan ini saya tidak mempermasalahkan masalah hukum yang menimpa KPK, saya pun tidak mengkritisi Polri institusi yang “membesarkan” saya…  Saya akan mengupas bahwa “Image tertindas” yang dilakukan oleh polisi akan berdapak dengan “bersatu” nya rakyat … artinya begini,  Polisi selalu digambarkan sebagai “penguasa” dan “penindas rakyat”, apabila ada suatu “ketidak adilan” muncul ditengah masyarakat yang dilakukan oleh polisi… hal itu akan menimbulkan semacam “perlawanan” dari masyarakat, “perlawanan” ini bertujuan untuk membela “orang”  atau “lembaga” yang tertindas oleh polisi… adalah suatu hal yang sangat berbahaya apabila ada suatu moment tertangkap oleh media pers dan image yang terkesan adalah “Polisi menindas rakyat”…

Saya mengambil contoh peristiwa yang paling dasyat adalah peristiwa Polisi versus Rakyat yang terjadi pada tahun 1992 di Los Angeles, dimana 4 petugas polisi melakukan penangkapan Rodney King seorang Afrika-Amerika karena ngenbut di jalan raya, pada saat penangkapan terjadi “perlawanan” oleh Rodney King dan keempat polisi tersebut mencoba melumpuhkannya, namun “tidakan” yang dilakukan keeempat polisi sangat berlebihan sehingga yang terlihat seperti “penyiksaan” … dan “apesnya” adegan “penyiksaan” itu tidak sengaja terekam kamera video oleh seseorang bernama George Holliday.

Penyiksaan Polisi LA terhadap Rodney King yang tidak sengaja terekam, dan kemudian menjadi heboh setelah ditayangkan TV

Peristiwa ini kemudian menjadi sangat heboh setelah terungkap oleh Media Pers, baik elektronik maupun cetak… koran koran dan TV di Amerika Serikat secara berulang – ulang menampilkan ulang peristiwa ini, membahasnya, menghujatnya, menghadirkan saksi, menghadirkan komentator yang makin membuat suasanya jadi “panas” , polisi diangkap sebagai lembaga “penindas” kaum yang lemah, bertindak diluar batas, tidak prosedural, tidak adil terhadap golongan tertentu … dsb …dsb …. makin hari makin besarlah cercaan masyarakat terhadap Polisi Los Angeles, makin tidak percaya dan semua “menghujat” polisi atas peristiwa itu… Polisi disebut penindas, sedangkan Rodney (yang juga pelanggar) dianggap orang yang tertindas dan menjadi “pahlawan”(seperti yang terjadi belakangan ini kan ?)

Puncak “meledak” nya kemarahan rakyat adalah setelah terjadi Pengadilan terhadap ke 4 polisi tersebut dengan tuduhan “Melebihi batas kewenangan” dan “penganiayaan”, namun sepertinya pengadilan itu tidak jujur dan adil (disebabkan juri semuanya dari ras kulit putih), sehingga ke 4 polisi ini dibebaskan …. itulah yang memicu “perlawanan rakyat” kerusuhan itu terjadi selama 7 hari, yang terjadi malah kerusuhan antara ras kulit hitam melawan kulit putih (malah ngga nyambung kan ?), Lima puluh tiga orang tewas saat kerusuhan dengan sebanyak 2.000 orang terluka. Perkiraan kerugian material bervariasi antara sekitar $ 800 juta dan $ 1 miliar. Sekitar 3.600 kebakaran terjadi di berbagai wilayah, menghancurkan 1.100 bangunan, dengan panggilan kebakaran datang satu kali setiap menit di beberapa hal; luas juga terjadi penjarahan. Toko yang dimiliki oleh Korea dan Asia imigran yang ditargetkan secara luas, meskipun toko dimiliki oleh orang kulit putih dan Afrika-Amerika menjadi sasaran para perusuh juga. Kerusuhan berhenti setelah tentara Amerika turun ke kota menggantikan polisi yang tidak mampu mengatasi.

Nah Kesimpulan cerita ini, polisi harus bersikap adil dalam setiap peristiwa, jangan ada kesan adanya “penindasan” oleh polisi .. apalagi apabila “diperkeruh” oleh Media Massa.. bisa terjadi opini publik terbalik yang membela kaum yang “tertindas” itu ….  mudah – mudahan ….