Cerita Seru Seputar Ilmu Forensik (2) : Waktu Kematian

*Kita masuk ke seri kedua tulisan saya mengenai cerita seru seputar Ilmu Forensik, kali ini saya mengupas tentang cara mengungkap waktu kematian.*

Mayat di TKP
Mayat di TKP

Waktu kematian menurut saya inilah hal yang krusial dalam penyidikan kasus pembunuhan, coba anda bayangkan apabila anda seorang polisi dan datang ke TKP pembunuhan, menemukan sesosok mayat yang pertama anda harus tentukan adalah : Kira – kira kapan korban ini meninggal ? Dari waktu kematian kita bisa merangkai lagi cerita (dengan timeline) Bagaimana sang korban menjelang saat – saat kematiannya, tentunya dengan mencari saksi sebanyak mungkin yang melihat, mendengar peristiwa yang berkaitan dengan korban atau orang yang dekat dengan korban pada saat – saat itu. Di bawah ini ada beberapa metode untuk mengetahui waktu kematian korban :

Suhu Tubuh
Cara yang paling umum bagi seorang Ahli Forensik ketika datang ke TKP adalah mengukur suhu tubuh mayat korban, patut diketahui hal yang dapat diukur pada awal kematian adalah suhu tubuh (mayat) korban mulai menurun, Suhu tubuh manusia normal adalah 36 derajat C, suhu tubuh menurun 1 derajat per jam, namun sangat dipengaruhi oleh besar badan korban, tebal pakaian korban, dan udara disekitar korban. Dalam 12 jam kedepan suhu tubuh mayat sudah berkurang setengahnya. Namun apabila korban tenggelam di air suhu tubuh akan turun lebih cepat.

Mayat Jim Jones, pemimpin sekte yg melakukan bunuh diri masal meminum racun cyanida
Mayat Jim Jones, pemimpin sekte yg melakukan bunuh diri masal meminum racun cyanida

Kaku Mayat
Kaku Mayat disebut juga Rigor Mortis dalam bahasa latinnya, hal ini terjadi karena efek kimia dalam tubuh dari asam menuju basa, biasanya sekira 2 jam setelah waktu kematian. Otot manusia yang lemas menjadi keras dan kenyal, proses kekakuan ini dimulai dari kelopak mata kemudian otot muka dan rahang, kemudian kebagian tangan dan terakhir kaki. Rigor Mortis merupakan proses yang berkelanjutan dan setelah 12 jam mayat berubah menjadi kaku seperti balok kayu. Mayat akan tetap dalam kondisi ini selama 12 sampai 48 jam sampai kimia tubuh berubah kembali menjadi asam dan tubuh kembali menjadi lemas. Kejang otot ternyata dapat juga terjadi pada kematian tiba – tiba, memang cirinya hampir sama dengan Rigor Mortis namun hanya bertahan beberapa jam. Sering terjadi pada saat kematian, korban memegang sesuatu, hal itu akan berlangsung beberapa jam. Apabila penyidik beruntung, pegangan erat korban terhadap tersangka pada saat menjelang kematian menyisakan rambut, kulit atau bahan pakaian tersangka, hal ini bisa dikembangkan di laboratorium forensik untuk mencari TSK nya.

TKP penemuan Mayat korban Ryan Jombang
TKP penemuan Mayat korban dari TSK Ryan Jombang

Lebam Mayat
Lebam mayat atau bahasa latinnya disebut Livor Mortis, terjadi ketika jantung berhenti berdetak dan darah berhenti bersirkulasi, sel darah merah turun ke bawah pada bagian tubuh yang bersentuhan dengan tanah karena kekuatan gravitasi. Hal inilah yang menyebabkan lebam pada mayat sekira 2 jam setelah kematian, ini disebabkan karena tubuh tidak bergerak, terjadinya warna pada kulit karena sel darah merah pecah dan terpisah dan masuk ke dalam serat otot. lain halnya dengan kasus keracunan, korban yang mati karena gas karbon monoksida akan terlihat merah terang pada bagian bawah tubuh, sedangkan kalau teracuni cyanida akan terlihat warna pink.

Menentukan Waktu Kematian yang sudah lama terjadi
Pada kasus mayat yang ditemukan setelah beberapa waktu, kerusakan yang terjadi pada mayat akan menjadi indikator lamanya peristiwa kematian telah terjadi. Pada umumnya bakteri bekerja merusak darah menghasilkan noda berwarna hijau setelah 2 hari, setelah 2 hari noda hijau itu menyebar ke tangan, kaki, leher dan tubuh mulai membengkak dan setelah seminggu kulit sudah mulai melepuh. Pada cuaca panas atau tropis banyaknya serangga menentukan waktu rusaknya mayat, lalat hitam dan lalat hijau biasanya menaruh telur mereka pada daging yang masih segar, dan telur menetas antara 8 hingga 14 jam kemudian tergantung suhu disekitarnya. Belatung berkembang dalam 3 tahap, selalu berganti kulit hingga berkembang sempurna menjadi lalat setelah 10 sampai 12 hari. Setelah itu lalat meninggalkan mayat itu untuk melanjutkan perkembangbiakan  ditempat lain. Lalat mempunyai siklus yang selalu sama sehingga para ahli Forensik bisa menduga waktu kematian walaupun mayat baru ditemukan setelah beberapa hari.

Ok, demikian cerita bagaimana seorang ahli forensik menentukan waktu kematian, jadi…. kalau anda tiba – tiba melihat mayat, tentunya sekarang sudah bisa mengira berapa lama waktu kematian kan ? 😛

Cerita Seru Seputar Ilmu Forensik (1) : Kasus Jack The Ripper, Sebuah Pembelajaran

*Halo.. pembaca blogku, bagi yang senang nonton tv kabel pasti banyak yang suka film seri televisi yang berbasis “Forensic Science” seperti CSI dan NCIS, kadang kita terkagum – kagum dengan ilmu forensik yang demikian canggih sehingga bisa mengungkap kejahatan, ditayangkan dalam film bagaimana dengan sejumput barang bukti dengan berbagai macam media dan bentuk dan dengan ilmu pengetahuan barang bukti itu bisa “berbicara”, namun tahukah bahwa ilmu forensik mengalami proses yang sangat panjang dalam penemuannya, dalam beberapa tulisan ke depan saya akan bercerita tentang kisah 2x seru ilmu forensik, selamat menikmati*

Pada tahun 1880 an di East London merupakan daerah yang menakutkan dan berbahaya, hal ini disebabkan kemiskinan yang menyebabkan banyak penduduk hidup dalam lingkungan sosial yang tidak sehat, pelaku kriminal dari berbagai jenis dari perampok, pencopet, pencuri dan pelacur berkeliaran di jalanan dan kekerasan sepertinya merupakan makanan sehari – hari.

Mayat Mary pada saat ditemukan di tempat tidur
Mayat Mary pada saat ditemukan di tempat tidur

Pada suatu pagi di November 1888 , tahun dimana juga pernah ditemukan 2 pembunuhan terhadap perempuan di area ini, seorang pemilik kontrakan datang menagih uang sewa ke kontrakannya yang dihuni oleh seorang pelacur bernama Mary Jane Kelly, ia mengetuk pintu dan tidak ada jawaban, lalu ia mengintip melalui jendela yang rusak dan terkejutlah ia melihat sesosok mayat yang terpotong dan lantai ruangan nya basah oleh darah. Pada saat polisi datang, mereka menemukan tubuh perempuan itu telah dirusak, kedua buah buah-dadanya telah terpotong, organ hati dari mayat itu terletak diantara kaki korban, dan satu tangan yang terpotong diletakkan di perut. Pada tempat perapian ditemukan abu pakaian korban yang sengaja dibakar.

Saksi mengatakan pernah melihat seorang laki – laki dengan kumis dan menggunakan topi bola, dua saksi lain mendengar teriakan dalam kamar sekira jam 4 pagi, dan saksi dari tetangga mendengar langkah kaki meninggalkan kamar Mary dua jam setelah jam 4 pagi.

Korban lain dari "Jack The Ripper"
Korban lain dari "Jack The Ripper"

Pembunuhan yang mengerikan ini adalah seri terakhir pembunuhan kejam dari seorang pelaku yang mendapat julukan umum “Jack the Ripper” (ripper = orang yang membawa pisau), pembunuhan brutal sebelumnya terjadi pada seputaran tahun 1880, semua korban adalah perempuan dan terpotong tenggorokannya, namun pola potongan terhadap korban yang khas menunjukkan perbuatan ini pelakunya Jack the Ripper.

Berdasarkan banyak keterangan saksi dan alat bukti Forensik sederhana pada zaman itu, tidak ada seorang pun menjadi terdakwa dalam kasus Jack the Ripper walaupun banyak sekali alat bukti yang didapatkan di sekitar TKP. Hampir seabad setelah peristiwa ini teori tentang pembunuhan dan identitas daripada tersangka yang dicurigai tetap diterbitkan oleh banyak penulis, peneliti dan polisi. Pada saat itu memang ada tersangka yang diamankan berkaitan dengan pembunuhan ini, tapi tidak ada seorang pun yang terbukti secara syah berkaitan dengan pembunuhan ini.

Kasus Jack the Ripper menggambarkan bagaimana terbatasnya alat bukti potensial yang bisa didapat  ilmu Forensik zaman itu,  pada abad ke 20 bukti forensik menjadi solusi dari banyak kasus pembunuhan,  diakui akibat peristiwa Jack the Ripper yang terkenal dan tidak terungkap itu ilmu forensik mendapat lompatan besar dalam perkembangannya.

Forensik merupakan senjata bagi semua penyidik untuk mengungkap kejahatan, caranya ada 2 yaitu : Mencari pelakunya dan sebagai alat bukti dalam sidang pengadilan untuk mengungkap keterlibatan pelaku dalam TKP, dalam beberapa kasus bahkan bisa juga bekerja keduanya dengan menggunakan metode sidik jari, balistik , perbandingan DNA , analisis jejak elemen, ahli forensik modern bisa mengungkap fakta, membeberkan peristiwa secara detail dan memberi kemungkinan serta teori tentang suatu peristiwa, hal ini pasti tidak pernah ter-pikirkan oleh generasi penyidik zamannya Jack the Ripper.

Diakui juga, walaupun bagaimana hebatnya temuan alat bukti dari ilmu forensik, alat bukti itu baru bisa “berbicara” apabila seorang target tersangka didapat, nah mendapatkan tersangka sangat tergantung dari kerja penyidik polisi.

Ilmu Forensik bukan ilmu yang sempurna dalam penerapan nya,  alat bukti yang terbatas dan tidak lengkap mengakibatkan banyaknya interpretasi, kadang – kadang terdapat opini yang berbeda terhadap alat bukti yang didapat dengan fakta yang didapat. Pada kasus lain penanganan  yang salah terhadap barang bukti di lapangan mengakibatkan ilmu forensik tidak dapat diterapkan.

Ilmu Forensik bisa sangat berguna, tetapi barang bukti harus ditangani secara teliti dan cermat, kalau tidak ditangani dengan baik alat bukti ini tidak dapat “berbicara”, semua digunakan untuk mengungkap pelaku kejahatan dan membebaskan yang tidak bersalah.

Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi

Belakangan ini lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) banyak disoroti oleh media massa, seiring merebaknya tokoh “Whistle Blower” seperti Susno Duadji atau Gayus Tambunan yang justru dipidana karena “kicauan” nya, padahal mereka telah meminta bantuan lembaga ini untuk melindungi kesaksian mereka.

Melihat peraturan dan Undang – Undang yang melandasi berdirinya LPSK mereka masih berada dalam tatanan koordinatif dengan lembaga lain, jadi dapat dipastikan mereka tidak bisa mandiri. Sampai sekarang lembaga ini belum tahu apa yang harus dikerjakan, apabila ada seseorang meminta perlindungan Lembaga ini. Saya malah salut dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang telah menunjukkan kiprahnya dengan melindungi artis cilik ARUMI BACHIM yang meminta perlindungan kepada LPA dan mengadukan orang tuanya atas eksploitasi orangtuanya, KPAI menempatkan ARUMI BACHIM dalam suatu “Save House” rahasia dan orang tuanya sampai sekarang tidak bisa mengetahui keberadaannya. Mmmmmh .. Kira – kira seperti inilah sepak terjang LPSK yang diharapkan apabila mereka menerima permohonan perlindungan dari saksi ataupun saksi korban.

Kira – kira bagaimana sih LPSK yang diharapkan ?

Melihat berbagai kelembagaan sejenis ini di dunia, yang paling bagus menurut saya tentunya di Amerika Serikat dengan WITSEC (Witness Security Program) Program ini secara administratif dilaksanakan oleh United States Department of Justice (sejenis Depkumham di indonesia) dan operasionalisasinya oleh United States Marshals Service (Salah satu agen penegak hukum AS yg berada dibawah US Dept. of Justice), hal yang termasuk program perlindungan saksi antara lain :

1. Untuk keamanan, saksi dan keluarga mereka bisa mendapatkan identitas baru dengan dokumen baru yang syah.
2. Disediakan perumahan, pengganti untuk biaya hidup dan perawatan medis yang diberikan kepada para saksi. Pelatihan kerja dan bantuan kerja juga disediakan, agar saksi yang telah mendapat identitas baru bisa bekerja dan mendapat penghasilan yang layak.
3. US Marshall memberikan perlindungan 24 jam terhadap saksi pada saat mereka berada dalam fase yang tinggi ancamannya pada saat berlansungnya persidangan terutama pada saat saksi mengucapkan testimonial.

Biasanya saksi yang dilindungi oleh program ini adalah tersangka suatu kejahatan, kemudian dengan suatu pembicaraan dengan penegak hukum, diberilah “penawaran” kepada tersangka untuk dikurangi hukumannya, asalkan ia mau mengungkap “kejahatan yang lebih besar” dengan menjadi “saksi” terhadap pelaku lain, hal ini biasanya terjadi dalam kejahatan terorganisir dan kelompok mafia, karena pasti kesulitan mencari saksi yang benar – benar tahu “inside” kelompok mereka, maka biasanya para penegak hukum di AS menggunakan para “anak buah” yang tertangkap, kemudian ditawari dikurangi hukumannya dan mengikuti program “perlindungan saksi” untuk “bersaksi” terhadap boss nya.

beberapa ini adalah para pelaku kejahatan besar yang “membarter” kesaksiannya, dan mengikuti program “perlindungan saksi”:

Salvatore Vitali
Salvatore Vitali

1. Salvatore Vitali atau dikenal dgn julukan “Super Rat”, ia tertangkap dan didakwa dengan 11 pembunuhan, berhasil dibujuk daripada menghadapi tuntutan hukuman mati, bersedia “bersaksi” untuk menunjukkan pelaku lain dan “boss” nya, dari kesaksiannya (dikatakan sebagai hasil terbesar program perlindungan saksi AS) , ia telah mengidentifikasi kurang lebih 500 orang anggota mafia, menunjukkan alat bukti dan menjadi saksi dari 30 kasus pembunuhan, termasuk percobaan pembunuhan dan konspirasi, dan yang paling penting adalah mengungkap rahasia ke semua lima keluarga “Costra Nostra” di New York, yang selama puluhan tahun tidak tersentuh hukum.

Henri Hill
Henri Hill

2. Henry Hill, adalah mantan mafia dari clan Lucchese, berkat kesaksiannya ia berjasa dalam peradilan 50 kasus Mafia, walaupun ia seorang keturunan Irlandia namun bekerja untuk keluarga Mafia Italia, dan banyak melakukan kejahatan pembunuhan, perampokan dan penyelundupan obat bius. Namun ketika ditangkap ia bersedia “bersaksi” untuk para kolega dan boss Mafia nya, ia kemudian menjalani kehidupan baru dalam program perlindungan saksi dengan identitas dan alamat baru, namun karena habbitnya yang suka mabuk, beberapa kali tertangkap oleh polisi, sehingga ia dikeluarkan dari program perlindungan saksi. Kisah hidupnya di film kan oleh Martin Scorsese dalam film Goodfellas.

Apa saja yang menyebabkan program perlindungan saksi di Indonesia bisa tidak berjalan ?

Menurut saya ada beberapa faktor yang menyebabkan program perlindungan saksi di Indonesia kurang bisa berjalan :

1. Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal sistem “barter” tersangka dengan pengurangan hukuman dan masuk dalam program perlindungan saksi, tidak ada landasan hukumnya. Jadi orang seperti Gayus Tambunan yang hanya pegawai golongan IIIa di Ditjen Pajak, tidak bisa menukarnya dengan pimpinannya apalagi sampai ke tatanan atas. Walaupun ia “bernyanyi” sekalipun tidak akan ada pengurangan masa hukuman, itulah sebabnya di Indonesia selalu pegawai “kelas rendahan” yang dikorbankan, sedangkan boss nya sih aman – aman saja.

2. Lembaga LPSK seharusnya bukan hanya lembaga koordinatif, namun sebuah lembaga independen, dengan mempunyai anggota yang terlatih dan bersenjata untuk melindungi saksi dan korban, jadi tidak membebani kepolisian dengan tugas ini, dan yang lebih rawan lagi adalah kemungkinan “bocor” nya keberadaan saksi yang dilindungi.

3. Kendala budgeting pasti juga akan menjadi masalah, bayangkan saja bagaimana menghidupi saksi dan keluarganya, memberi identitas baru , memberi pekerjaan, memindahkan ke tempat baru pastinya sudah membebani anggaran belanja Negara ini.

Harapan saya sih, Lembaga ini akan tetap eksis dan mulai menjalani fungsinya dengan benar di negara ini, tentunya untuk mengungkap kejahatan – kejahatan besar di negara ini. Semoga ….